Sebenernya cerpen ini terinspirasi dari film yang kemarin aku review, happy reading!
***
Dingin. Hanya itu yang kurasakan. Hujan mengguyur dengan
lebat di luar sana, memberikan sensasi dingin yang dapat membuat seseorang
menggigil jika menahannya. Rumah ini terasa sepi. Tidak ada seorang pun di
sini. Kecuali aku.
Debu yang menempel di sana-sini. Rumah ini sudah
ditinggalkan oleh keluargaku sejak 15 tahun yang lalu. Dan rumah yang dijual
sejak 15 tahun lalu ini juga belum ada peminatnya.
Aku Lily. Dan aku menyukai musik. Karir yang kurintis
dari usahaku sendiri sejak usia 10 tahun, akhirnya mengantarkan namaku ke
deretan pianis terkenal di negeri ini. Dan kini aku menyerah. Menyerah dengan
semua omong kosong yang memberikan gelar seorang pianis kepadaku.
Inilah aku sekarang. Hanya seorang pengangguran yang
tidak tahu harus berbuat apa. Tadi pagi aku berniat keluar rumah untuk mencari
pekerjaan. Dan hujan yang turun dengan lebat ini mempertemukanku kembali dengan
rumah ini—yang ditinggalkan keluargaku 15 tahun lalu.
Seperti yang dikatakan oleh pamanku 3 tahun yang lalu,
rumahku ini belum ada peminatnya. Kosong, seperti yang kulihat. Berdebu dan
dipenuhi sarang laba-laba.
Aku melangkahkan kakiku ke ruangan yang dulu kami sebut
ruang utama. Ruangan tersebut luas sekali. Aku ingat, dulu saat aku masih
berusia 3 tahun, aku pernah terjatuh ketika berlari-lari mengelilingi ruang
utama.
Bibirku mengukir senyum tanpa kusadari. Seluruh sudut
rumah ini memiliki kenangan tersendiri untukku. Dulu ada mama, papa, Kak Angel,
dan Kak Jason di sini. Mereka semua telah hidup terpisah-pisah, dengan keluarga
kecil yang dimiliki.
Tiba-tiba terbersit ide konyol di benakku. Bagaimana
keadaan kamarku yang dulunya selalu kuhias dengan foto-foto berbingkai merah
jambu? Aku langsung menuju ke kamarku dulu. Tidak sabar rasanya melihat tempat
rahasiaku yang menyimpan sejuta kenangan masa kecilku dulu.
Mataku membelalak melihat keadaan tempat ini. Plafon
kamarku telah jebol sehingga kamarku yang dulu selalu kuhias, sekarang menjelma
menjadi sejenis tempat angker yang tidak kukenal.
Kakiku menerobos masuk, melewati 2 pilar yang dulunya
terdapat pintu bergantung Snow White dengan nama “Lily” berada di bawah gambar
Snow White-nya. Tanganku berusaha menyingkirkan puing-puing plafon. Sangat
berat memang, jika dibandingkan dengan tangan seorang mantan pianis yang dulu
lemah gemulai menari di atas tuts piano. Tapi, aku tidak mau berhenti.
Tubuhku mulai basah terguyur hujan. Ini sangat gila, tapi
aku sangat mencintai kenanganku di sini. Aku ingin menyelamatkan mereka dari
puing plafon yang menutupi segala keceriaan dan kesedihanku di masa kecil.
Dan tanpa sengaja aku menyentuh sesuatu. Secarik kertas
yang tintanya mulai luntur. Kertas yang kuyakin dulu berwarna putih bersih ini,
kini telah berwarna kecokelatan termakan usia.
Aku mengambilnya. Kubuka lipatannya yang membagi kertas
tersebut menjadi 4 bagian sama besar. Dan aku mengenalinya. Surat yang kutulis
saat mendapat tugas dari guruku di sekolah dulu. Aku ingin tertawa mengingat
apa yang kupikirkan saat menulisnya. Tapi, sejenak aku diam mematung memandangi
kertas lusuh yang kini berada di genggaman tanganku.
Perlahan mulai kubaca sebuah impian besar yang dulu
sangat kucintai dan kubanggakan.
10 Agustus 2002
Aku
tidak tahu apa yang harus kutuliskan di sini. Tapi, aku harus tetap menulisnya.
Surat untuk diriku 15 tahun kemudian… itu terdengar sangat keren!
Aku
ingin menjadi seorang pianis terkenal. Siapapun diriku 15 tahun kemudian, aku
ingin menghibur orang-orang dengan alunan piano yang kumainkan dengan jemari-jemariku.
Siapapun aku nanti, aku akan terus berusaha dengan pianoku.
Itulah
suratku untukmu, diriku 15 tahun kemudian. Semoga kau membacanya.
Salam dari Lily yang berusia 15 tahun…
Hujan berhenti bersamaan dengan berakhirnya surat
tersebut. Dari dulu aku selalu berangan-angan dengan piano. Piano, piano, dan
piano. Dan kini aku berhenti.
Orang tuaku pernah berjanji untuk menonton pertunjukanku
suatu hari. Dan aku tidak pernah menyangka, kalau itu adalah pertunjukanku yang
terakhir kalinya untuk mereka. Tidak, bukan terakhir kalinya. Mereka tidak
menontonnya. Mereka hanya berusaha datang. Dan kemudian sebuah kecelakaan besar
merenggut nyawa mereka.
Tanpa mereka, untuk siapa lagi aku bermain piano?
Kakiku melangkah keluar dari rumah lamaku ini. Untuk
siapa? Untuk siapa? Untuk siapa? Untuk siapa lagi akan kumainkan pianoku?
Aku berlari dengan cepat, meninggalkan rumah yang penuh
dengan kenangan manis—juga pahit yang sangat malas kuingat. Dan tanpa sadar
satu persatu air mataku mulai keluar.
***
Satu bulan kemudian…
Tidak. Itu bukan keputusanku. Aku belum menyerah dengan
piano! Belum sama sekali!
Masih banyak orang yang bisa kuhibur dengan pianoku. Kak
Angel, Kak Jason, dan semua orang. Termasuk para bocah kecil berwajah polos
yang baru merasakan rasanya menyentuh tuts piano.
Aku tidak kembali ke atas panggung yang bermandikan
gemerlap lampu sorot yang terkadang membuatku kesal karena menyilaukan. Tapi,
aku tetap kembali kepada piano, belahan
jiwaku. Aku lebih puas menjadi seorang guru les piano yang bisa berbagi ilmunya
kepada orang lain. Ya, aku berbagi ilmu kepada orang lain.
Kepada diriku 15 tahun yang lalu, kini aku telah
menepati janjiku.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar