Aku bersandar pada dinding di
depan ruang guru. Suasana di sekolah telah sepi. Hanya ada beberapa siswa yang
masih tertinggal karena menunggu jemputan dari orang tua masing-masing. Kertas
yang terlipat menjadi dua bagian berada di genggaman tangan kananku. Berulang
kali aku melirik kertas tersebut. Dan kertas tersebut seolah menatapku balik,
menunggu langkah selanjutnya yang akan kulakukan.
Aku
semakin gemetaran. Kedua lututku seolah telah tak sanggup lagi menopang
tubuhku. Aku hampir saja jatuh berlutut di tempatku berdiri. Tapi, dengan
sekuat tenaga aku mencoba untuk tidak bergoyang sedikitpun, apalagi terjatuh.
“Mau
cari siapa, Mas?”
Aku
mendongakkan kepala. Sosok bertubuh tinggi dan berkulit kecokelatan tampak
berdiri di hadapanku, entah sejak kapan. Dari sorot matanya, aku dapat melihat
kalau beliau sedang menunggu jawaban untuk pertanyaannya tadi.
“Mau
cari siapa, Mas?” orang tersebut mengulangi pertanyaannya.
Lidahku
kelu, tenggorokanku tiba-tiba saja kering. Bingung melandaku. Apa yang harus ku
jawab pada orang ini?
“T-tidak
ada,” hanya kalimat itulah yang mampu kuucapkan.
Orang
itu kemudian tersenyum. Tersenyum karena bingung melihat sikapku yang aneh,
menurutku. “Kalau begitu, lebih baik Mas segera pulang. Kasihan ibumu menunggu
di rumah.” Kemudian beliau pun berlalu, entah kemana karena aku tak
memperhatikannya.
Bayangan
wajah ibu seketika muncul di benakku, memenuhi seluruh pikiranku. Apa yang akan
kukatakan pada ibu nanti? Bagaimana kalau ibu mengetahui hal ini dan memarahiku?
Aku tidak tahu.
Sekali
lagi aku kebingungan. Aku ketakutan. Hal yang selalu dirasakan oleh orang yang
berbuat salah. Ya, aku melakukan sebuah kesalahan. Kesalahan yang sangat besar,
kurasa. Aku benar-benar merasa bersalah. Tidak, aku telah berdosa.
Mataku
kembali tertambat ke arah kertas yang kupegang. Kertas itu sekarang seolah
mengejekku, memakiku, dan mengolok-olokku. Mencercaku dengan umpatan-umpatan
yang layak diberikan kepada orang sepertiku. Ingin rasanya aku menangis, tapi
aku pun sadar kalau aku yang bersalah.
Ya, ini
salahku. Semuanya salahku. Salahku karena tidak mendengarkan apa yang dikatakan
ibu semalam. Salahku karena aku lebih mementingkan film itu daripada belajar.
Salahku karena aku lupa kalau hari ini akan ada ujian. Salahku karena aku telah
mencuri. Ya, aku pencuri! Pencuri jawaban temanku sendiri.
Aku
mengintip ke ruang guru yang pintunya sedikit terbuka. Pak Agus tampak sedang
bersiap. Memasukkan beberapa buku ke dalam lokernya, kemudian berhenti sejenak
untuk mengangkat telepon dari seseorang.
Aku
semakin ketakutan. Takut akan dosa, takut kepada ibu, juga takut kepada Pak
Agus. Sisi putih dari hati kecilku yang membawaku ke tempat ini, agar aku bisa
mengatakan semua perbuatanku kepada Pak Agus. Tapi, sisi gelap dari diriku
seolah meronta-ronta untuk segera melangkah pergi dari tempat ini dan
beristirahat di rumah. Aku menutup mataku seerat mungkin. Aku tidak tahu jalan
mana yang harus kutempuh. Sekali lagi aku mengintip ke ruang guru. Pak Agus
duduk di kursinya kemudian mengeluarkan sebuah map berisi kertas-kertas yang
aku tidak tahu kertas apakah itu.
Aku
mencoba menarik nafas sekuat tenaga. Kemudian aku menghembuskannya lewat
mulutku dengan sehalus mungkin. Hal itu selalu kulakukan jika aku sedang
bingung memilih antara dua pilihan.
Kertas
yang kupegang masih terlihat seperti mengejekku. Tidak. Kertas itu mengejekku
karena aku adalah seorang pengecut. Orang yang tidak mau bertanggung jawab atas
apa yang telah dilakukannya. Kutahu ini salahku, dan akulah orang yang harus
menyelesaikan masalahku.
Tidak,
aku bukanlah pengecut! Aku bukanlah salah satu dari golongan orang yang tidak
mau bertanggung jawab atas perbuatannya. Ya, aku harus bertanggung jawab,
karena itulah yang selama ini diajarkan oleh kedua orang tuaku. Semua ini adalah
salahku. Kesalahan yang kubuat dengan sengaja karena hal-hal yang tidak sengaja
kulakukan.
Kakiku
akhirnya dengan mantap membawaku masuk ke ruang guru, membawaku ke meja Pak
Agus. Pak Agus masih tampak mengisi sesuatu di sana. Beliau berhenti melakukannya
ketika sadar bahwa diriku berdiri di depan mejanya.
“Pak
Agus,” sapaku sembari menunduk. “Saya telah melakukan kesalahan.”
Aku
tidak tahu bagaimana ekspresi Pak Agus saat ini. Aku pun tidak berani untuk
menatapnya.
“Nak,
kesalahan apa yang kau lakukan sehingga kau berada di sini?” suara berat Pak
Agus terdengar di telingaku. “Angkat wajahmu, Nak. Supaya bapak bisa mengenali
siapa dirimu.”
Aku
menuruti Pak Agus. Entah bagaimana caranya, Pak Agus terlihat sangat
menyeramkan. Kumis tebal yang tumbuh di atas bibir Pak Agus—yang biasanya
kutertawakan karena membuatnya terlihat lucu—kini malah berbalik terlihat menakutkan.
“Katakan,
apa yang kau lakukan!”
“S-saya
mencuri,” jawabku pelan. Kertas yang sedari tadi kugenggam kini kutunjukkan
kepada Pak Agus. Tampak nilai 90 berada di bagian paling atas kertas tersebut.
“Saya mencuri jawaban. Saya menyesalinya, Pak...” Aku kembali menundukkan
kepalaku. Kini terbayang di benakku tentang apa yang akan dilakukan Pak Agus.
Biarlah beliau menghukumku. Toh, yang salah memang pantas diberi hukuman.
“Nak,
angkat wajahmu,” ujar Pak Agus. Suaranya terdengar lemah. Aku bahkan tidak
mendengar nada amarah di sana.
Aku
menurutinya. Dengan kaku, aku mengangkat wajahku dan menatap Pak Agus yang
duduk di hadapanku.
Pak
Agus kemudian tersenyum. Sungguh, aku tidak menyangkanya. “Pulanglah, Nak.
Bapak sudah memaafkanmu. Bapak marah karena perbuatanmu, tapi bapak takjub akan
kejujuranmu. Pulanglah, ibumu pasti sudah cemas karena kau belum juga pulang.”
Aku
mengangguk pelan. Meraih kertas yang berada di meja Pak Agus kemudian beranjak
keluar dari ruang guru. Lega rasanya. Ya, lega karena ternyata Pak Agus tidak
menghukumku. Tapi, aku sangat lega setelah mengatakan apa yang sejujurnya
kepada Pak Agus.
Kejujuran.
Sesuatu yang sangat sulit dilakukan. Tapi, sebenarnya adalah sesuatu yang
sangat mengagumkan jika kau dapat melakukannya.
***
Mayan
BalasHapusMayan
BalasHapusmayan
BalasHapus