Jumat, 22 Juli 2016

Aku Mencuri!!!

Aku bersandar pada dinding di depan ruang guru. Suasana di sekolah telah sepi. Hanya ada beberapa siswa yang masih tertinggal karena menunggu jemputan dari orang tua masing-masing. Kertas yang terlipat menjadi dua bagian berada di genggaman tangan kananku. Berulang kali aku melirik kertas tersebut. Dan kertas tersebut seolah menatapku balik, menunggu langkah selanjutnya yang akan kulakukan.
                Aku semakin gemetaran. Kedua lututku seolah telah tak sanggup lagi menopang tubuhku. Aku hampir saja jatuh berlutut di tempatku berdiri. Tapi, dengan sekuat tenaga aku mencoba untuk tidak bergoyang sedikitpun, apalagi terjatuh.
                “Mau cari siapa, Mas?”
                Aku mendongakkan kepala. Sosok bertubuh tinggi dan berkulit kecokelatan tampak berdiri di hadapanku, entah sejak kapan. Dari sorot matanya, aku dapat melihat kalau beliau sedang menunggu jawaban untuk pertanyaannya tadi.
                “Mau cari siapa, Mas?” orang tersebut mengulangi pertanyaannya.
                Lidahku kelu, tenggorokanku tiba-tiba saja kering. Bingung melandaku. Apa yang harus ku jawab pada orang ini?
                “T-tidak ada,” hanya kalimat itulah yang mampu kuucapkan.
                Orang itu kemudian tersenyum. Tersenyum karena bingung melihat sikapku yang aneh, menurutku. “Kalau begitu, lebih baik Mas segera pulang. Kasihan ibumu menunggu di rumah.” Kemudian beliau pun berlalu, entah kemana karena aku tak memperhatikannya.
                Bayangan wajah ibu seketika muncul di benakku, memenuhi seluruh pikiranku. Apa yang akan kukatakan pada ibu nanti? Bagaimana kalau ibu mengetahui hal ini dan memarahiku? Aku tidak tahu.
                Sekali lagi aku kebingungan. Aku ketakutan. Hal yang selalu dirasakan oleh orang yang berbuat salah. Ya, aku melakukan sebuah kesalahan. Kesalahan yang sangat besar, kurasa. Aku benar-benar merasa bersalah. Tidak, aku telah berdosa.
                Mataku kembali tertambat ke arah kertas yang kupegang. Kertas itu sekarang seolah mengejekku, memakiku, dan mengolok-olokku. Mencercaku dengan umpatan-umpatan yang layak diberikan kepada orang sepertiku. Ingin rasanya aku menangis, tapi aku pun sadar kalau aku yang bersalah.
                Ya, ini salahku. Semuanya salahku. Salahku karena tidak mendengarkan apa yang dikatakan ibu semalam. Salahku karena aku lebih mementingkan film itu daripada belajar. Salahku karena aku lupa kalau hari ini akan ada ujian. Salahku karena aku telah mencuri. Ya, aku pencuri! Pencuri jawaban temanku sendiri.
                Aku mengintip ke ruang guru yang pintunya sedikit terbuka. Pak Agus tampak sedang bersiap. Memasukkan beberapa buku ke dalam lokernya, kemudian berhenti sejenak untuk mengangkat telepon dari seseorang.
                Aku semakin ketakutan. Takut akan dosa, takut kepada ibu, juga takut kepada Pak Agus. Sisi putih dari hati kecilku yang membawaku ke tempat ini, agar aku bisa mengatakan semua perbuatanku kepada Pak Agus. Tapi, sisi gelap dari diriku seolah meronta-ronta untuk segera melangkah pergi dari tempat ini dan beristirahat di rumah. Aku menutup mataku seerat mungkin. Aku tidak tahu jalan mana yang harus kutempuh. Sekali lagi aku mengintip ke ruang guru. Pak Agus duduk di kursinya kemudian mengeluarkan sebuah map berisi kertas-kertas yang aku tidak tahu kertas apakah itu.
                Aku mencoba menarik nafas sekuat tenaga. Kemudian aku menghembuskannya lewat mulutku dengan sehalus mungkin. Hal itu selalu kulakukan jika aku sedang bingung memilih antara dua pilihan.
                Kertas yang kupegang masih terlihat seperti mengejekku. Tidak. Kertas itu mengejekku karena aku adalah seorang pengecut. Orang yang tidak mau bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya. Kutahu ini salahku, dan akulah orang yang harus menyelesaikan masalahku.
                Tidak, aku bukanlah pengecut! Aku bukanlah salah satu dari golongan orang yang tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya. Ya, aku harus bertanggung jawab, karena itulah yang selama ini diajarkan oleh kedua orang tuaku. Semua ini adalah salahku. Kesalahan yang kubuat dengan sengaja karena hal-hal yang tidak sengaja kulakukan.
                Kakiku akhirnya dengan mantap membawaku masuk ke ruang guru, membawaku ke meja Pak Agus. Pak Agus masih tampak mengisi sesuatu di sana. Beliau berhenti melakukannya ketika sadar bahwa diriku berdiri di depan mejanya.
                “Pak Agus,” sapaku sembari menunduk. “Saya telah melakukan kesalahan.”
                Aku tidak tahu bagaimana ekspresi Pak Agus saat ini. Aku pun tidak berani untuk menatapnya.
                “Nak, kesalahan apa yang kau lakukan sehingga kau berada di sini?” suara berat Pak Agus terdengar di telingaku. “Angkat wajahmu, Nak. Supaya bapak bisa mengenali siapa dirimu.”
                Aku menuruti Pak Agus. Entah bagaimana caranya, Pak Agus terlihat sangat menyeramkan. Kumis tebal yang tumbuh di atas bibir Pak Agus—yang biasanya kutertawakan karena membuatnya terlihat lucu—kini malah berbalik terlihat menakutkan.
                “Katakan, apa yang kau lakukan!”
                “S-saya mencuri,” jawabku pelan. Kertas yang sedari tadi kugenggam kini kutunjukkan kepada Pak Agus. Tampak nilai 90 berada di bagian paling atas kertas tersebut. “Saya mencuri jawaban. Saya menyesalinya, Pak...” Aku kembali menundukkan kepalaku. Kini terbayang di benakku tentang apa yang akan dilakukan Pak Agus. Biarlah beliau menghukumku. Toh, yang salah memang pantas diberi hukuman.
                “Nak, angkat wajahmu,” ujar Pak Agus. Suaranya terdengar lemah. Aku bahkan tidak mendengar nada amarah di sana.
                Aku menurutinya. Dengan kaku, aku mengangkat wajahku dan menatap Pak Agus yang duduk di hadapanku.
                Pak Agus kemudian tersenyum. Sungguh, aku tidak menyangkanya. “Pulanglah, Nak. Bapak sudah memaafkanmu. Bapak marah karena perbuatanmu, tapi bapak takjub akan kejujuranmu. Pulanglah, ibumu pasti sudah cemas karena kau belum juga pulang.”
                Aku mengangguk pelan. Meraih kertas yang berada di meja Pak Agus kemudian beranjak keluar dari ruang guru. Lega rasanya. Ya, lega karena ternyata Pak Agus tidak menghukumku. Tapi, aku sangat lega setelah mengatakan apa yang sejujurnya kepada Pak Agus.
                Kejujuran. Sesuatu yang sangat sulit dilakukan. Tapi, sebenarnya adalah sesuatu yang sangat mengagumkan jika kau dapat melakukannya.

***

3 komentar: